Beli Surat Berharga Negara, Bank Indonesia Banjiri APBN Senilai Rp40,77 Triliun
Mata uang Rupiah/ilustrasi. (Antara).

Bagikan:

NUSA TENGGARA BARAT – Bank Indonesia (BI) disebut membanjiri Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setelah membeli Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp40,77 triliun.

Pembelian tersebut dilakukan hingga 16 Februari 2021. Tujuan BI membeli SBN untuk mendukung kebijakan fiskal pemerintah.

Skema Pembelian SBN

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pembelian SBN dilakukan dengan dua skema, yakni melalui mekanisme lelang utama sebesar Rp18,16 triliun dan melalui mekanisme Greenshoe Option (GSO) sebesar Rp22,61.

“Bank Indonesia terus menerapkan kebijakan moneter akomodatif untuk berjalan selaras dengan kebijakan fiskal pemerintah agar mendorong pemulihan ekonomi nasional, dan menjaga kondisi likuiditas di perbankan dan pasar keuangan tetap baik,” ujarnya dalam dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Kamis, 19 Februari.

Perry menambahkan, kondisi likuiditas yang longgar pada Januari 2021 telah mendorong tingginya rasio Alat Likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yakni 31,64 persen dan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang tinggi sebesar 10,57 persen secara tahunan.

Sebagai informasi, pada 2020 bank sentral telah melakukan pembelian SBN dari pasar perdana sebesar Rp473,42 triliun yang ditujukan untuk membantu pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Tahun ini, otoritas moneter sepakat untuk melanjutkan kebijakan serupa guna menyokong keuangan negara.

Adapun, langkah tersebut tertuang dalam Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pada 16 April 2020, sebagaimana telah diperpanjang pada 11 Desember 2020 dengan termin waktu hingga 31 Desember 2021.

Untuk diketahui, cara Bank Indonesia untuk turut serta dalam mendukung operasi fiskal pemerintah dikenal dengan istilah burden sharing. Melalui cara ini, negara bisa mendapatkan alternatif pembiayaan secara instan dengan risiko yang cenderung bisa dikelola.

Namun, burden sharing mempunyai kelemahan, yakni dapat menyebabkan hyperinflation alias inflasi yang sangat tinggi jika bank sentral terlalu banyak membeli surat utang pemerintah. Sebab dengan memborong surat utang, berarti membanjiri pasar dengan jumlah uang beredar yang sangat banyak (banjir likuiditas).

Alhasil inflasi melonjak dan harga mata uang akan turun dibandingkan sebelumnya. Indonesia pernah mengalami hyperinflation pada 1965. Kala itu, disebutkan bahwa inflasi meroket hingga 600 persen. Pemerintah dan BI sendiri sepakat untuk menjaga inflasi di kisaran level 3 persen plus minus 1 persen

Baca terus VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan.